DB KLIK – Lagi-lagi, jagat media sosial kembali dihebohkan dengan kemunculan sebuah fenomena tren yang memicu kontroversi publik. Kali ini tren tersebut bernama ‘S Line’.
Awal mula hal itu menjadi ramai diperbincangkan para warganet setelah rilisnya sebuah Drama Korea dengan judul yang sama sejak tayang perdananya pada tanggal 11 Juli 2025 lalu.
Ternyata kemunculan Drakor berjudul S Line tersebut tidak hanya sekadar menjadi ajang hiburan visual belaka, namun justru menjadi tren baru yang banyak orang menilainya mengandung potensi dampak negatif.
Khususnya, dampak buruk tersebut menyasar kepada para pemuda yang ikut menggalakkan tren berfoto dengan tanda ‘Garis Merah’ di atas kepala mereka.
Banyak diantara para generasi muda Indonesia yang memang tumbuh dengan gempuran informasi di dunia maya, mengikuti tren itu dan kemudian memicu perdebatan dari lingkungan norma sosial yang cenderung konservatif.
(BACA JUGA: Link Streaming S Line Eps 3-4 Sub Indo & Sinopsis, Konflik dan Misteri Benang Merah Memanas)
Sebagai informasi, bahwa tren S Line sendiri berasal dari adaptasi konsep sebuah Drama Korea hasil produksi Sidus Picture dengan judul yang sama.
Terdapat tayangan serial fiksi yang kini menjadi bahan perbincangan lantaran di sana digambarkan banyak orang memiliki ‘garis merah’ misterius yang muncul di atas kepala mereka.
Garis merah tersebut menyerupai benang yang ternyata jika diselidiki lebih lanjut, menandakan adanya hubungan antar individu yang pernah memiliki riwayat kedekatan secara intim satu sama lain.
Berapa banyak jumlah garis yang terdapat di atas kepala mereka memperlihatkan dan juga menandakan seberapa banyak pengalaman seksual yang pernah seorang lakukan.
Setelah rilisnya Drama Korea berjudul S Line tersebut, sontak konsep itu terus meluas hingga menjadi tren di berbagai platform media sosial termasuk di Indonesia, utamanya di TikTok dan Instagram.
(BACA JUGA: Antara Garis Merah dan Kesombongan Dosa: Mengapa ‘S‑Line’ TikTok Perlu Dicermati?)
Tidak sedikit dari para pengguna media sosial mulai mengedit foto mereka atau video mereka dengan menambahkan efek garis merah imajiner di atas kepalanya seolah menirukan apa yang ada dalam drama itu.
Sontak saja, fenomena tersebut kemudian memicu berbagai macam bentuk reaksi, ada pihak yang memang sekadar ikut-ikutan saja, namun ada juga yang mengungkapkan keprihatinan mereka akan bagaimana dampak serius dari tren itu.
Meskipun bagi sebagian individu tren ini hanyalah sebuah gimmick atau hiburan semata, para pakar sosiologi dan psikologi remaja justru menilai bahwa tren S Line membawa sejumlah risiko serius.
Berikut adalah beberapa dampak negatif yang patut diwaspadai:
Dengan secara tidak langsung mengunggah atau mengisyaratkan informasi yang sangat pribadi (seperti jumlah pengalaman seksual), pengguna tren ini seolah membuka tabir kehidupan mereka ke ruang publik.
Dalam konteks budaya Indonesia yang kental dengan nilai kesopanan dan privasi, hal ini berpotensi besar memicu stigma sosial.
Remaja yang mengikuti tren ini bisa saja dihakimi, dikucilkan, atau menghadapi gosip yang merusak reputasi di lingkungan sekolah, keluarga, atau komunitas mereka.
Dr. Sri Rahayu, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa, apabila sebuah norma sosial, terlebih mengenai privasi justru dilanggar di ruang publik secara digital, maka akan menimbulkan konsekuensi yang berat.
"Ketika norma-norma sosial tentang privasi dilanggar di ruang publik digital, konsekuensinya bisa sangat berat, terutama bagi remaja yang sedang mencari penerimaan," katanya.
Tren S Line secara tidak langsung turut menormalisasi budaya oversharing di media sosial, khususnya di kalangan generasi muda.
Psikolog anak dan remaja, Dra. Lestari Widyanti, M.Psi., menjelaskan bahwa jika mereka tidak memiliki batasan privasi yang jelas, maka akan berdampak pada bagaimana pembentukan persepsi dirinya sendiri.
"Semakin tipisnya batasan privasi dapat berdampak signifikan pada pembentukan persepsi diri remaja,” ucapnya.
“Mereka mungkin mulai merasa wajar untuk membagikan hal-hal yang seharusnya bersifat sangat pribadi, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya," tambah Lestari.
Kondisi ini dapat mengaburkan pemahaman remaja tentang pentingnya menjaga informasi personal.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) turut memegang peranan penting dalam penyebaran tren ini.
Penelitian oleh Przybylski et al. (2013) yang diterbitkan dalam Computers in Human Behavior menunjukkan bahwa FOMO dapat meningkatkan tingkat kecemasan dan menurunkan kepuasan hidup seseorang.
Demi tetap merasa relevan dan menjadi bagian dari komunitas daring, banyak pengguna, khususnya remaja, merasa tertekan untuk mengikuti tren ini meskipun sebenarnya mereka merasa tidak nyaman atau bertentangan dengan nilai pribadi mereka.
Ini menciptakan lingkungan di mana validasi diri didapatkan dari partisipasi dalam tren viral.
Masa remaja adalah fase krusial dalam pencarian identitas.
Teori psikososial Erik Erikson menjelaskan bahwa remaja sangat rentan terhadap pengaruh eksternal dan berusaha memahami siapa diri mereka.
Tren yang secara implisit menjadikan pengalaman seksual sebagai konsumsi publik berisiko membuat remaja salah kaprah dalam menilai nilai diri mereka.
Mereka mungkin mulai mengukur harga diri dari pengalaman tersebut, alih-alih dari capaian positif lainnya seperti prestasi akademik, bakat, atau kontribusi sosial.
Hal ini dapat mengalihkan fokus dari pengembangan diri yang holistik.
Mengingat tren ini bertentangan dengan nilai kesopanan dan norma privasi di Indonesia, partisipasi dalam S Line membuat pengguna, terutama remaja, sangat rentan menjadi sasaran hujatan, cyberbullying, atau bahkan pelecehan daring.
Dampak dari cyberbullying ini bisa sangat serius, mulai dari menurunnya rasa percaya diri, kecemasan, depresi, hingga trauma psikologis berkepanjangan yang memerlukan intervensi profesional.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa kasus cyberbullying pada remaja terus meningkat setiap tahunnya, dan tren semacam ini berpotensi memperburuk situasi.
Tren S Line ini menjadi pengingat penting bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, untuk senantiasa lebih bijak dan kritis dalam menggunakan media sosial.
Tidak semua tren harus diikuti, apalagi jika berpotensi menabrak norma yang berlaku, membahayakan kesehatan mental, atau merusak reputasi diri.
Dengan memahami secara mendalam makna, potensi risiko, dan dampak negatif dari sebuah tren, diharapkan masyarakat dapat lebih selektif dalam memilah mana tren yang bermanfaat dan mana yang sebaiknya dihindari demi menjaga kesehatan digital dan kesejahteraan pribadi.
Untuk mendukung aktivitas media sosial dan digitalmu dengan perangkat terbaik, temukan berbagai gadget penunjang hanya di DB Klik, Toko Komputer Surabaya terlengkap dan terpercaya.
Dapatkan harga hemat dengan kualitas terjamin, kunjungi kami sekarang! (*)
DB Klik - Toko Komputer Surabaya yang terpercaya di Indonesia. Menjual berbagai macam kebutuhan elektronik yang lengkap seperti laptop, gadget, gaming, lifestyle, dan aksesoris. Belanja kebutuhan elektronik yang lengkap dan hemat langsung melalui Website DB Klik, Dijamin Berkualitas.
Ikuti media sosial DB Klik untuk mendapatkan berita terbaru, diskon, promo, dan event menarik lainnya dari kami.
Join sebagai subscriber email di DB Klik untuk mendapatkan info kupon diskon.